
Sadar atau tidak, dampak climate change mulai menyentuh kehidupan umat manusia. Banjir, rob, cuaca ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan datang silih berganti. Hal tersebut melahirkan ketakutan, kecemasan, dan rasa khawatir yang mendalam. Perempuan, orang tua, anak-anak, dan kami yang miskin menjadi lapis masyarakat yang paling rentan menanggung penderitaan karena tak memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari semua bencana itu.
Apakah kita memperhatikan cuaca belakangan ini?
Sedikit berbagi tentang tidak menentunya cuaca di daerahku belakangan ini. Aku tinggal di kabupaten Labuhanbatu Utara, tepatnya di Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo. Cuaca sungguh tak bisa ditebak. Pagi hari cerah, siangnya hujan. Lalu cerah kembali, dan tak lama kemudian hujan turun lagi. Satu hari itu, cerah dan hujan datang silih berganti sesuka hati mereka hingga membuat bingung para ibu memutuskan nasib pakaian di jemuran. Cuaca yang begini sungguh merepotkan sekali. Apalagi untuk kaum ibu yang bekerja (saya salah satunya), pikiran melayang pada pakaian yang ada di jemuran. Akhirnya butuh waktu 2 hari agar pakaian kering maksimal. Bahkan beberapa ibu menuliskan kekhawatiran pakaian yang tak kering ini di sosial medianya. Khawatir jika cuaca seperti ini akan membuat semua pakaian di lemari keluar tak bersisa. Fenomena ini merupakan salah satu dampak climate change (perubahan iklim) yang mungkin tidak kita sadari.
Rasa khawatir akan pakaian yang tidak kering itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan derita kawan-kawan kita yang mengalami banjir bandang ataupun banjir rob, seperti yang terjadi di pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Juni lalu. Atau rasa khawatir akan terjadinya gagal panen para petani jika cuaca terus menerus tak menentu seperti ini. Artinya kita juga harus bersiap menghadapi bencana kelaparan karena ancaman gagal panen tersebut.

Semua bencana itu terjadi karena atmosfer sudah tidak berfungsi seperti sedia kala. Kemampuan atmosfer untuk menyerap panas telah menghilang akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca dari waktu ke waktu. Gas rumah kaca tersebut berasal dari emisi yang dihasilkan oleh kegiatan manusia. Dan konsentrasi gas rumah kaca yang terus meningkat ini menyebabkan bumi terperangkap pada rumah kaca raksasa. Keadaan ini menjadikan ekosistem alamiah tak lagi mampu bekerja seperti sedia kala sehingga melahirkan bencana yang mengancam nyawa manusia.
Bicara tentang emisi, maka tak bisa diingkari bahwa meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bermula sejak manusia menemukan mesin uap tiga abad lalu dan inilah menjadi permulaan suhu bumi perlahan semakin naik. Kenaikan konsentrasi gas rumah kaca terus menerus terjadi hingga kini. Dan negara-negara maju menjadi produsen emisi tertinggi karena mereka menghidupkan mesin untuk industrialisasi dan menumbuhkan ekonomi dengan memanfaatkan secara masif energi fosil yang polutif. Hal tersebut menjadikan negara maju menyumbang sebanyak 80% produksi emisi tahunan. Namun, bencana yang ditimbulkan tidak hanya menghantam negara maju, melainkan turut menghantam seluruh bagian dunia tanpa terkecuali. Bahkan ironisnya, negara yang paling sedikit menghasilkan emisilah yang menanggung dampak lebih berat karena ketidakmampuan negara tersebut untuk melindungi diri.
Orang yang makan nangka, awak yang kena getahnya.
Begitulah kira-kira gambaran kondisi yang terjadi saat ini. Negara maju mendapatkan keuntungan maksimal dari penggunaan mesin industri sementara negara lain turut menanggung derita akibat dampak yang ditimbulkan. Itulah mengapa isu climate change harus didampingi oleh climate justice. Kita butuh solusi yang berkeadilan, yaitu usaha yang mampu menangani isu perubahan iklim dengan memperhatikan keadilan merata baik secara sosial maupun ekonomi ke seluruh lapisan makhluk di Bumi.
Climate justice merupakan konsep penanganan perubahan iklim yang berfokus pada sumbernya. Jika sumbernya adalah penggunaan fosil yang terlalu masif maka penuntasan penggunaan energi fosil yang harus jadi fokus utama penyelesaiannya. Bukan berfokus pada emisi yang dihasilkan melainkan kepada sumber emisi itu sendiri. Ibarat jika suatu kebakaran terjadi. Yang menjadi fokus kita adalah titik apinya, bukan sekadar menghilangkan asapnya.
Oleh sebab itu, mari kita dukung pemerintah agar menciptakan kebijakan yang mampu menangani krisis iklim sebagai bentuk kepedulian terhadap bumi dan umat manusia. Dan terus menyuarakan agar tidak ada lagi hutan yang dialihfungsikan sebagai pertambangan atau industri lainnya yang hanya menambah konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Apalagi kita diperdaya oleh negara lain yang membuat kita menderita kena getahnya. Sebab dampak bencana iklim tidak main-main. Kita bisa saksikan sendiri. Hujan deras menggenangi beberapa kota di negeri kita ini. Semoga Teknologi yang semakin canggih ini mampu menjadi jalan keluar atas masalah ini. Dan harus selalu diingat bahwa tujuan awal manusia diciptakan oleh Allah adalah supaya menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk merawat dan mengusahakan alam ini. Mewariskannya tetap lestari kepada generasi berikutnya.
Mari suarakan climate justice. Kita semua punya peranan untuk memastikan bahwa pemerintah menerapkan kebijakan yang berkeadilan dalam menangani isu perubahan iklim ini. Supaya kita jangan hanya mendapat getah saja, melainkan turut menikmati manisnya nangka.