Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai

Jangan Mau Kebagian Getahnya

Sadar atau tidak, dampak climate change mulai menyentuh kehidupan umat manusia. Banjir, rob, cuaca ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan datang silih berganti. Hal tersebut melahirkan ketakutan, kecemasan, dan rasa khawatir yang mendalam. Perempuan, orang tua, anak-anak, dan kami yang miskin menjadi lapis masyarakat yang paling rentan menanggung penderitaan karena tak memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari semua bencana itu.

Apakah kita memperhatikan cuaca belakangan ini?

Sedikit berbagi tentang tidak menentunya cuaca di daerahku belakangan ini. Aku tinggal di kabupaten Labuhanbatu Utara, tepatnya di Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo. Cuaca sungguh tak bisa ditebak. Pagi hari cerah, siangnya hujan. Lalu cerah kembali, dan tak lama kemudian hujan turun lagi. Satu hari itu, cerah dan hujan datang silih berganti sesuka hati mereka hingga membuat bingung para ibu memutuskan nasib pakaian di jemuran. Cuaca yang begini sungguh merepotkan sekali. Apalagi untuk kaum ibu yang bekerja (saya salah satunya), pikiran melayang pada pakaian yang ada di jemuran. Akhirnya butuh waktu 2 hari agar pakaian kering maksimal. Bahkan beberapa ibu menuliskan kekhawatiran pakaian yang tak kering ini di sosial medianya. Khawatir jika cuaca seperti ini akan membuat semua pakaian di lemari keluar tak bersisa. Fenomena ini merupakan salah satu dampak climate change (perubahan iklim) yang mungkin tidak kita sadari.

Rasa khawatir akan pakaian yang tidak kering itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan derita kawan-kawan kita yang mengalami banjir bandang ataupun banjir rob, seperti yang terjadi di pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Juni lalu. Atau rasa khawatir akan terjadinya gagal panen para petani jika cuaca terus menerus tak menentu seperti ini. Artinya kita juga harus bersiap menghadapi bencana kelaparan karena ancaman gagal panen tersebut.

Semua bencana itu terjadi karena atmosfer sudah tidak berfungsi seperti sedia kala. Kemampuan atmosfer untuk menyerap panas telah menghilang akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca dari waktu ke waktu. Gas rumah kaca tersebut berasal dari emisi yang dihasilkan oleh kegiatan manusia. Dan konsentrasi gas rumah kaca yang terus meningkat ini menyebabkan bumi terperangkap pada rumah kaca raksasa. Keadaan ini menjadikan ekosistem alamiah tak lagi mampu bekerja seperti sedia kala sehingga melahirkan bencana yang mengancam nyawa manusia.

Bicara tentang emisi, maka tak bisa diingkari bahwa meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bermula sejak manusia menemukan mesin uap tiga abad lalu dan inilah menjadi permulaan suhu bumi perlahan semakin naik. Kenaikan konsentrasi gas rumah kaca terus menerus terjadi hingga kini. Dan negara-negara maju menjadi produsen emisi tertinggi karena mereka menghidupkan mesin untuk industrialisasi dan menumbuhkan ekonomi dengan memanfaatkan secara masif energi fosil yang polutif. Hal tersebut menjadikan negara maju menyumbang sebanyak 80% produksi emisi tahunan. Namun, bencana yang ditimbulkan tidak hanya menghantam negara maju, melainkan turut menghantam seluruh bagian dunia tanpa terkecuali. Bahkan ironisnya, negara yang paling sedikit menghasilkan emisilah yang menanggung dampak lebih berat karena ketidakmampuan negara tersebut untuk melindungi diri.

Orang yang makan nangka, awak yang kena getahnya.

Begitulah kira-kira gambaran kondisi yang terjadi saat ini. Negara maju mendapatkan keuntungan maksimal dari penggunaan mesin industri sementara negara lain turut menanggung derita akibat dampak yang ditimbulkan. Itulah mengapa isu climate change harus didampingi oleh climate justice. Kita butuh solusi yang berkeadilan, yaitu usaha yang mampu menangani isu perubahan iklim dengan memperhatikan keadilan merata baik secara sosial maupun ekonomi ke seluruh lapisan makhluk di Bumi.

Climate justice merupakan konsep penanganan perubahan iklim yang berfokus pada sumbernya. Jika sumbernya adalah penggunaan fosil yang terlalu masif maka penuntasan penggunaan energi fosil yang harus jadi fokus utama penyelesaiannya. Bukan berfokus pada emisi yang dihasilkan melainkan kepada sumber emisi itu sendiri. Ibarat jika suatu kebakaran terjadi. Yang menjadi fokus kita adalah titik apinya, bukan sekadar menghilangkan asapnya.

Oleh sebab itu, mari kita dukung pemerintah agar menciptakan kebijakan yang mampu menangani krisis iklim sebagai bentuk kepedulian terhadap bumi dan umat manusia. Dan terus menyuarakan agar tidak ada lagi hutan yang dialihfungsikan sebagai pertambangan atau industri lainnya yang hanya menambah konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Apalagi kita diperdaya oleh negara lain yang membuat kita menderita kena getahnya. Sebab dampak bencana iklim tidak main-main. Kita bisa saksikan sendiri. Hujan deras menggenangi beberapa kota di negeri kita ini. Semoga Teknologi yang semakin canggih ini mampu menjadi jalan keluar atas masalah ini. Dan harus selalu diingat bahwa tujuan awal manusia diciptakan oleh Allah adalah supaya menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk merawat dan mengusahakan alam ini. Mewariskannya tetap lestari kepada generasi berikutnya.

Mari suarakan climate justice. Kita semua punya peranan untuk memastikan bahwa pemerintah menerapkan kebijakan yang berkeadilan dalam menangani isu perubahan iklim ini. Supaya kita jangan hanya mendapat getah saja, melainkan turut menikmati manisnya nangka.

Iklan

Meneropong Masa Depan

Kita adalah spesies dominan yang tinggal di Bumi. Kepada kita diberikan kuasa untuk menikmati dan memanfaatkan sumber daya Bumi. Namun tidak hanya untuk menikmati, kita juga bertanggung jawab untuk merawat dan mengusahakan kelestariannya. Kita bertanggung jawab untuk mencari cara hidup yang tidak merugikan lingkungan, serta melindungi hewan dan tumbuhan yang juga hidup di Bumi. Itu adalah tugas kita, manusia.

Sepanjang hidup manusia, selama bertahun-tahun hidup di Bumi, kita telah membuang limbah proses produksi ke tanah, sungai, atau ke udara. Bahkan tak bisa kita pungkiri bahwa kecanggihan teknologi masa kini turut memperburuk keadaan di Bumi. Kegiatan kita memang dipermudah, akan tetapi kelestarian Bumi semakin terancam. Polusi salah satunya. Polusi adalah masuknya energi atau unsur buangan yang disebut polutan dan memiliki dampak yang berbahaya bagi suatu lingkungan.

Sejak duduk dibangku sekolah, kita tentu sudah diajarkan tentang lingkungan dan menjaga kelestariannya. Saya masih ingat betul bagaimana secara teori guru mengajarkannya pada saya. Mereka mengajarkan praktik yang bisa dilakukan, salah satunya adalah menanam pohon di lingkungan rumah atau sekolah. Saat itu dijelaskan bahwa pohon mampu menyerap karbondioksida yang kita keluarkan saat bernapas dan menggantinya menjadi oksigen yang bisa kita hirup kembali untuk bernapas.

Pada dasarnya karbon dioksida terbentuk secara alami di atmosfer Bumi.

Sekitar 20 persen atmosfer terdiri atas oksigen yang kita butuhkan untuk bernapas. Gas dalam jumlah terbesar adalah nitrogen. Sementara sisanya dalam jumlah kecil adalah beberapa gas lain, seperti karbon dioksida dan metan.

Namun, aktivitas manusia telah meningkatkan jumlah karbon dioksida di atmosfer, terutama dari pabrik-pabrik industri dan kendaraan bermotor. Karbon dioksida dan gas berbahaya lainnya yang lepas ke atmosfer memengaruhi perubahan iklim dan pemanasan global, dan tentu saja membawa pengaruh buruk terhadap kehidupan manusia.

Atmosfer berfungsi untuk melindungi Bumi dengan menyerap sebagian besar sinar matahari yang merugikan, tetapi membiarkan cukup banyak cahaya masuk untuk menghangatkan Bumi. Kita menyebutnya dengan gas rumah kaca (GRK). Semakin tingginya jumlah emisi yang lepas ke udara mengakibatkan meningkatnya suhu Bumi, meningkatnya permukaan air laut, dan ketidakstabilan iklim. Semua hal itu tentu saja berpengaruh pada kehidupan manusia. Cuaca yang semakin sulit ditebak adalah salah satunya. Termasuk bencana yang belakangan ini kerap terjadi. Bukan hanya di Indonesia, perubahan iklim sudah menjadi ancaman bencana lingkungan global.

Bahkan BNPB mencatat bencana terkait efek GRK adalah bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Seperti cuaca ekstrem : kalau kemarau panas banget, sementara kalau hujan sering banjir. Juga bencana lingkungan seperti kebakaran hutan, kekeringan yang menyebabkan gagal panen, tanah longsor dan bencana lainnya.

Itulah mengapa transisi energi harus dilakukan, sebab transisi energi diperlukan untuk mengikis selimut polutan (efek GRK) yang menyelimuti atmosfer bumi untuk mencegah timbulnya bencana lingkungan.

Transisi Energi

Net zero emission merupakan tujuan dilakukannya transisi energi. Net Zero Emission atau disebut juga emisi nol bersih adalah kondisi dimana tercapainya keseimbangan antara jumlah emisi karbon yang dihasilkan dengan jumlah yang mampu diserap oleh lingkungan dan atmosfer. Berdasarkan keputusan perjanjian Paris yang menyatakan bahwa kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat Celcius relatif terhadap pre-industrial level mengharuskan dilakukannya transisi energi sebagai bentuk upaya untuk mencapai target tersebut.

Apa itu Transisi Energi?

Transisi energi merupakan upaya mengurangi penggunaan energi fosil dengan energi non fosil yang rendah polusi dan emisi gas rumah kaca.

Tak bisa dipungkiri bahwa penggunaan bahan bakar fosil merupakan penyumbang emisi terbesar. Dan di Indonesia sendiri ada dua sektor penyumbang emisi karbon terbesar yaitu sektor tenaga listrik dan transportasi. Itu artinya, gas emisi di Indonesia akan dapat ditekan dengan menekan peningkatan penggunaan emisi dari kedua sektor tersebut.

Berikut gambaran transisi energi di sektor transportasi :

Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa untuk menekan emisi di sektor transportasi adalah dengan beralih menggunakan bahan bakar biofuel. Bahan bakar yang didapat dengan memanfaatkan hayati seperti minyak kelapa sawit.

Namun ada tantangan dibalik penggunaan minyak kelapa sawit, yaitu apabila permintaan semakin meningkat maka tentu saja ada banyak lahan yang akan dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit, dan tidak menutup kemungkinan kalau hutan yang masih tersisa akan menjadi sasarannya. Dan tentu saja ini akan menjadi masalah baru.

Jika wajah transportasi diubah menjadi transportasi listrik maka kendalanya adalah pembangkit listrik masih menggunakan bahan bakar dari batu bara. Hal ini pun masih perlu dikaji ulang untuk diterapkan.

Gambaran transisi energi di sektor kelistrikan :

Transisi energi di sektor kelistrikan adalah pergeseran dari bahan bakar fosil menjadi bahan bakar non fosil seperti cahaya matahari, tenaga angin, maupun air. Walaupun bahan bakar non fosil tersedia di alam dengan jumlah yang takkan pernah habis dan selalu ada namun memiliki tantangan yang harus juga dipikirkan.

Misalnya saja seperti cahaya matahari dan amgin yang tergantung pada musim dan kondisi tertentu atau pasokan air untuk PLTA yang harus dipastikan kelestarian ekosistemnya. Juga kemampuan SDM kita untuk mengembangkan energi terbarukan itu sendiri.

Tantangan-tantangan itu bukanlah penghambat, melainkan jembatan untuk menolong perjalanan kita mempersiapkan transisi energi itu sendiri. Gambaran-gambaran itu menolong kita untuk punya gambaran meneropong masa depan kehidupan manusia di bumi. Jika kita tidak segera bertindak maka gambaran bumi dan manusia yang menderita adalah wajah masa depan kita. Sebaliknya jika upaya transisi energi ini mulai kita kembangkan maka wajah masa depan bumi adalah hijau yang sejuk dan nyaman.

Apa yang bisa kita lakukan?

  • Terlibat dalam pengumpulan limbah rumah tangga untuk bahan baku energi non fosil (biodiesel dan biogas).
  • Menceritakan praktik baik inovasi pemanfaatan energi terbarukan.
  • Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
  • Menghemat penggunaan listrik.
  • Mengkampanyekan penggunaan produk energi terbarukan.

Hal-hal sederhana itu jika kita lakukan bersama tentu mampu mengubah wajah masa depan bumi kita. Berkat tantangan-tantangan yang kita pecahkan bersama, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi penghasil energi tenaga Angin seperti Jerman yang memanfaatkan angin untuk membangkitkan tenaga listrik yang bebas polusi atau seperti Kanada, yang memanfaatkan energi air sebagai pusat pembangkit listrik.

Hal positif yang kita lakukan, sekecil apapun untuk Bumi pasti memiliki dampak baik. Semua yang kita lakukan saat ini adalah cara kita meneropong masa depan yang nun jauh di sana. Langkah sekecil apapun jika kita lakukan bersama dengan komitmen terjaga akan membawa kita sampai pada tujuan. Yuk mulai kumpulkan limbah minyak jelantahmu supaya diolah sebagai bahan baku biodiesel 😊.

Masyarakat Adat, Siapakah Mereka?

Semut pun akan menyerang jika ada orang yang mengganggu sarangnya!

Masyarakat Adat. Kita mengenal mereka demikian. Kelompok masyarakat yang hidup dalam tradisi dan budaya yang sama serta menempati wilayah adat secara turun temurun.

Karena alasan inilah mereka, masyarakat adat, begitu kekeh bertahan untuk menjaga wilayah adat yang mereka duduki. Itu wilayah turun temurun dari para leluhur.

Ada banyak peristiwa menyedihkan yang dialami oleh masyarakat adat. Seperti diskriminasi, stigma, kekerasan, intimidasi, bahkan juga kriminalisasi.

Masyarakat Adat Natumingka menolak wilayah adatnya diambil. Foto dari : mongabay.co.id

Seperti yang dialami oleh masyarakat adat Natumingka, di Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Tepatnya hari Selasa, 18 Mei 2021 lalu. Kejadiannya sekitar pukul 06.00 wib. Terdapat sekitar 400 pekerja dan 150 sekuriti memasuki wilayah adat membawa bibit dan juga peralatan lengkap. Mereka akan menanam paksa bibit eucalyptus. Mengetahui hal itu tentu saja masyarakat adat menolak. Mereka berkumpul dan berjaga-jaga di wilayah mereka.

Tak mau kalah. Ratusan sekuriti itu menerobos masuk dengan melempar kayu, batu, bahkan menggunakan tongkat mereka sebagai upaya agar masyarakat adat berjalan mundur. Akan tetapi masyarakat adat Natumingka tak menyerah. Mereka terus berjuang melawan untuk mempertahankan wilayah adat mereka. Padahal sebelumnya sudah ada perjanjian batas tanah antara masyarakat adat Natumingka dengan perusahaan kala itu. TPL mengingkari janji. Suasana memanas dan akibatnya sekitar 12 orang masyarakat adat mengalami luka-luka. Salah satunya adalah seorang kakek yang berusia 75 tahun.

Siapapun tentu keberatan jika hak miliknya direbut begitu saja. Mempertahankannya dengan cara apapun tentu saja tidak ada salahnya. Namun Negeri ini adalah Negara hukum. Masyarakat adat butuh itu agar kelangsungan hidup mereka terjamin aman dibawah naungan undang-undang.

Berhak kah mereka untuk itu?

Tentu saja. Mereka adalah kita. Mereka Indonesia juga. Saya rasa adalah hal yang wajar jika mereka marah karena tanah mereka direbut paksa. Mereka hanya menjaga warisan leluhur dan kita harus menjaga mereka agar tetap dilindungi keberadaannya. Mereka tidak sejelek yang kita pikirkan. Masyarakat adat itu berdaya. Mereka punya potensi dan berperan penting bagi lingkungan alam kita.

Primitif

Pexels

Barangkali kita berpikir bahwa masyarakat adat itu masih primitif. Jauh dari paparan teknologi. Gagap.

Dan kita merasa kalau label itu pantas diberikan ke mereka. Namun nyatanya kita yang terlalu primitif. Kita enggan masuk dan melihat ke dalam kehidupan masyarakat adat itu sendiri. Kita hanya mengintip dari celah celah sempit. Lalu beropini yang melahirkan stigma.

Sadar atau tidak. Masyarakat adat tidak se-primitif itu. Mereka sudah mulai terbuka dengan budaya luar. Hal itu bisa kita lihat dari pakaian yang mereka kenakan sekarang. Mereka sudah berbaur dengan kemajuan. Mereka tak lagi tertutup. Hal ini terlihat saat mereka sudah berani berinteraksi dengan turis yang mengunjungi desa mereka.

Kreatif

Masyarakat adat itu kreatif. Tidak hanya omongan belaka. Kain tenun, kain songket, ulos, merupakan bukti dari kreativitas yang mereka miliki. Mereka mendapat inspirasi dari apa yang alam berikan. Bahkan bahan-bahan pewarna yang mereka gunakan berasal dari tumbuh-tumbuhan di hutan yang mereka jaga.

Tenun ikat, masker, selai, tepung, kopi, hasil karya masyarakat adat.

Menjunjung Kearifan Lokal

Kehidupan yang mulai terbuka dengan kebudayaan luar tidak langsung mendorong mereka untuk meninggalkan atau bahkan melupakan ajaran leluhur mereka. Salah satunya adalah cara mereka menjaga hutan adat, rumah mereka.

Hutan adat merupakan ruang kehidupan bagi mereka. Disanalah mereka bergantung untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hutan adat menjadi apotik sekaligus supermarket bagi mereka. Dari hasil hutan tersebut mereka memperoleh makanan juga obat-obatan.

Ada banyak ritual dilakukan sebagai upaya agar lingkungan wilayah adat tetap terjaga. Misalnya saja Ritual adat Mombang Boru Sipitu sundut di Tano Batak. Ritual ini ditujukan untuk tolak bala dan kesuburan tanaman. Dan masih banyak kearifan lokal lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Masyarakat adat menjaganya agar tetap ada.

Masyarakat adat juga meyakini bahwa hutan adat selain warisan leluhur yang harus dijaga juga merupakan milik generasi masa depan. Mereka hanya meminjamnya. Oleh karena itu mereka bertanggungjawab untuk memastikan kalau hutan adat itu akan baik adanya di masa depan. Untuk anak cucu mereka. Penerus mereka. Itulah mengapa mereka mengambil dari hutan dengan tetap memprioritaskan kelestariannya.

Masyarakat Adat menikmati tanpa mengeksploitasi

Ambil secukupnya, jaga seutuhnya. Kupikir begitulah prinsip hidup masyarakat adat. Dan ini merupakan hal yang sepatutnya kita contoh. Sebab manusia kini tengah hidup dalam ketidakpuasan. Haus dan selalu merasa kurang.

Pejuang Sejati

Masyarakat Adat merupakan ujung tombak keberadaan hutan adat. Mereka yang bersedia maju paling depan untuk tetap mempertahankan hutan adat. Sejujurnya adalah hal yang sangat menyedihkan jika kita harus melepaskan rumah kita direbut begitu saja oleh orang lain.

Untuk tetap mempertahankan rumah mereka, pemuda masyarakat adat yang dulunya pergi ke kota untuk belajar memutuskan kembali ke wilayah adat mereka. Gerakan ini disebut dengan gerakan pulang kampung. Tutur Ibu Mina, Deputi IV Sekjen Aman.

Tak hanya itu, sekolah adat juga mulai dikembangkan di lingkungan mereka. Ada sekitar 84 sekolah adat yang mereka dirikan. Mereka juga membangun konservasi berbasis pertanian organik, membangun sanggar-sanggar budaya di komunitas dan banyak gerakan lainnya.

Hal ini menjadi penguat untuk mematahkan stigma terhadap masyarakat adat. Mereka tidak primitif seperti yang kita bayangkan. Mereka berupaya melakukan yang terbaik dengan meninggalkan zona nyaman mereka.

Masyarakat adat adalah pejuang sejati. Mereka memeluk perubahan tanpa meninggalkan warisan kearifan

Bisa kita bayangkan sekarang bagaimana jadinya jika kita kehilangan masyarakat adat. Tak ada lagi penjaga hutan adat kita. Karena memang merekalah yang bersedia mempertaruhkan nyawa untuk menjaga hutan adat agar tetap ada.

Kita juga akan kehilangan kearifan lokal. Salah satu kekayaan yang #IndonesiaBikinBangga Sebab masyarakat adatlah yang menjaganya tetap ada. Mereka dalam hidupnya terus menghidupi ajaran leluhur mereka. Salah satunya dalam mejaga hutan adat sebagai warisan leluhur yang harus diteruskan secara turun temurun.

Apa yang bisa kita lakukan? Mari kita dukung agar pemerintah segera #SahkanRUUMasyarakatAdat demi saudara kita yang memberikan hidupnya menjaga hutan adat agar tetap ada dan lestari selamanya.

Supaya tidak ada lagi masyarakat adat di Indonesia yang terluka dan kehilangan ruang hidupnya karena oknum yang tamak dan tak tahu diri.

Referensi

Mempertahankan lahan dari pt TPL belasan warga adat natumingka luka-luka – Mongabay.co.id

Mengenal siapa itu masyarakat adat – Aman.or.id

Cerita Biru dan Jingga Langitku

“Wow, langitnya cantik sekali!” Seruku tiap kali melihat keindahan langit. Baik itu langit biru cerah dengan awan-awannya maupun langit jingga yang mempesona. Tak jarang aku juga sering merekamnya lewat smartphone -ku

Langit biru dengan awan atau langit senja dengan jingganya keduanya sama-sama punya daya tarik yang memikat. Memikat setiap mata yang memandangnya. Melahirkan sebuah rasa kagum karena keindahannya. Dan keindahan itu seolah magnet yang menarik kita untuk terus memandangnya. Dekat, lekat dengan rasa syukur kepada Sang Pencipta.

Aku merupakan salah satu pengagum akan indahnya langit dengan biru dan jingganya itu. Tiap kali memandangnya tanpa terasa hati ini mengucap syukur pada Sang Kuasa telah menciptakan begitu banyak keindahan di Bumi ini untuk dinikmati dengan percuma.

Langit yang juga kita sebut dengan atmosfer ini diciptakan bukan hanya semata sebagai penghias yang mampu menghilangkan penat. Lebih dari itu, langit memiliki fungsi bagi kelangsungan hidup makhluk di Bumi termasuk pencegahan perubahan iklim.

Atmosfer merupakan lapisan gas yang menyelimuti planet.

Atmosfer Bumi memiliki peranan penting atas keberlangsungan hidup di Bumi. Berkat adanya atmosfer suhu di Bumi tetap hangat untuk kita tinggali. Atmosfer mengurangi rasa panas dari pancaran sinar matahari karena ia memantulkan sekitar 34% panas matahari kembali menuju angkasa. Sekitar 19% dari panas matahari itu diserap oleh atmosfer dan awan, kemudian sisanya 47% sampai ke permukaan Bumi. Berkat adanya atmosfer maka makhluk hidup di Bumi terbebas dari bahaya sinar ultraviolet. Tak hanya itu, atmosfer juga berperan sebagai media cuaca tempat terjadinya hujan, angin, awan, dan lain sebagainya.

Berkat atmosfer pula, kebutuhan makhluk hidup akan gas terpenuhi. Seperti oksigen untuk manusia dan hewan, atau karbondioksida bagi tumbuhan. Atmosfer menyediakan semuanya itu.

Dokumen pribadi Ruang berbagi kisah

Berangkat dari fakta tersebut, sudah seharusnya kita lebih intens memperhatikan serta menjaga atmosfer agar tetap bekerja sebagaimana seharusnya. Hari-hari ini suhu Bumi yang semakin panas menjadi bukti bahwa atmosfer bumi sedang tidak baik-baik saja.

Apakah suatu hari nanti kita tak lagi bisa menikmati indahnya biru dan jingganya sang langit?

Suhu bumi yang semakin panas merupakan tanda perubahan iklim yang semakin ganas. Kita harus mulai bergerak. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan menanam pohon dan menjaga hutan kita agar tetap berdaya. Sebab pohon dan hutanlah yang mampu menyerap gas polutan dari atmosfer. Semakin banyak pohon dan jumlah hutan maka akan semakin banyak gas polutan yang terserap.

Hal tersebut tentu saja membantu atmosfer menjadi lebih baik. Suhu bumi pun akan semakin membaik. Langit itu akan selalu membuat kita terpesona akan biru dan juga jingganya semuanya bergantung pada cara kita memperlakukan alam.

Aku jadi teringat sebuah lagu yang bertajuk “Dengar Alam Bernyanyi” Sebuah lagu yang dinyanyikan Laleilmanino bersama rekannya. Lagu ini dirilis 22 April 2022 dalam rangka menyambut hari Bumi sedunia. Lirik lagu ini membawa kita seolah berdialog dengan alam. Alam yang ingin kita peduli dan merawatnya kembali. Lagu yang mengajak kita untuk mengingat kembali bahwa kitalah yang pegang kendali atas Bumi yang kita tinggali ini.

Bila kau ada waktu lihat aku disini
Hijau biru di bumi
Merintih ingin kau kembali
Beri cintamu lagi

Bila kau jaga aku ku jaga kau kembali
Berhentilah mengeluh ingat kau yang pegang kendali
Kau yang mampu obati
Sudikah kau kembali

Pandanglah indahnya biru yang menjingga
Simpanlah gawaimu hirup dunia
Sambutlah mesranya bisik angin yang bernada
Dengar alam bernyanyi

Bila kau lelah
Dengan panasnya hari
Jagalah kami
Agar sejukmu kembali

Bersatulah hajar selimut polusi
Ingatlah hai wahai kau manusia
Tuhan menitipkan aku
Hoo Di genggam tanganmu

Pandanglah indahnya biru yang menjingga
Simpanlah gawaimu hirup dunia
Sambutlah mesranya bisik angin yang bernada
Dengar alam bernyanyi

Aku berulang kali memutar lagu ini. Selain karena nada dan liriknya yang bagus, juga sebagai bentuk kontribusiku terhadap Bumi.

Kontribusi? Mungkin kalian bertanya-tanya. Mendengarkan lagu apakah bisa dikatakan sebagai kontribusi menjaga Bumi, apa hubungannya?

Jadi teman-teman, sebagian royalti dari pemutaran lagu ini akan disumbangkan untuk konservasi hutan adat kita yang ada di Kalimantan. Semakin banyak yang mendengarkan lagu ini maka semakin banyak dana yang akan disalurkan. Tunggu apa lagi? Ini merupakan kesempatan yang baik. Kapan lagi coba kita bisa menjaga kelestarian hutan tanpa harus ke hutan? Kita cukup memutar lagu ini sesering mungkin maka itu artinya kita sudah turut menjaga hutan dan peduli Bumi.

Teman-teman, kalian bisa mendengarkan lagu ini di platform musik kesayangan kalian. Jangan lupa ajak teman kita yang lainnya untuk mendengarkan lagu ini juga, ya, supaya semakin banyak dana yang nantinya akan tersalurkan.

Jangan lupa, ya. Kalian juga bisa membuat konten reels atau story di FB dengan menggunakan musik “dengar alam bernyanyi” sebagai backsoundnya supaya semakin banyak orang yang tahu tentang misi menjaga hutan sebagai upaya mengatasi perubahan iklim.

Ayo kita dukung misi ini demi biru dan jingganya langit dan demi mengatasi perubahan iklim yang dampaknya masih dan akan terus membayangi jika kita hanya berdiam diri.

Kalau kamu sudah ikutan, boleh tinggalkan jejak di sini, ya… sampai bersapa lagi di tulisan berikutnya.

Sadar Tradisi Lindungi Keanekaragaman Hayati

Ruangberbagikisah

“Hei! Lihat di sana ada kupu-kupu yang sangat cantik” seruku saat melihat kupu-kupu hinggap di bunga

“Iya, di sini juga ada” seru temanku juga

Memandangi kupu-kupu yang berterbangan di antara bunga yang berwarna-warni, berusaha menangkapnya lalu kemudian melepaskannya kembali merupakan kegiatan masa kecil yang sangat indah. Tak kujumpai kupu-kupu yang sama persis kala itu. Mereka terbang dengan keragaman namun dengan misi yang seragam.

Berkisah tentang kupu-kupu pasti kita akan teringat tentang proses daur hidupnya. Proses yang selalu dijadikan semangat bagi setiap insan dalam hidupnya bahwa untuk menjadi indah butuh proses dan itu pasti tidak mudah. Namun dibalik itu, tak cukup bagi kita untuk mengagumi kupu-kupu hanya dari sisi itu saja.  Tahukah teman-teman, kalau serangga yang satu ini selain membantu penyerbukan tanaman, ia juga berfungsi sebagai indikator udara bersih. Karena memiliki sifat tersebut, kupu-kupu menjadi salah satu serangga yang dapat dijadikan bioindikator terhadap perubahan ekologi. Semakin tinggi keragaman spesies kupu-kupu di suatu tempat, hal itu bisa menjadi tanda bahwa lingkungan tersebut masih baik.

Keragaman spesies kupu-kupu merupakan salah satu contoh dari melimpahnya keragaman hayati di negeri kita. Tahukah teman-teman bahwa Indonesia merupakan negara megabiodiversitas terbesar ketiga setelah Kongo dan Brazil? Akan tetapi masihkah keanekaragaman hayati itu tetap dijaga keberadaannya ditengah kecanggihan teknologi dan impian manusia yang menginginkan kelimpahan dari alam tanpa henti?

Tak dapat dielakkan bahwa keanekaragaman hayati yang kita miliki satu per satu mulai menghilang. Seperti kupu-kupu itu. Tak lagi aku menemukannya akhir-akhir ini. Hanya sekali itu aku melihatnya, saat seekor kupu-kupu besar berwarna cokelat memiliki bintik putih masuk ke rumah. Tak lagi kulihat kupu-kupu warna-warni yang mengitari bunga-bunga. Peristiwa ini mengajak ingatanku kembali ke masa kanak-kanak, mengenang indahnya berburu kupu-kupu di antara bunga-bunga yang bermekaran. Rindu adalah perasaan yang pertama kali muncul dalam diri ini.

Itu hanyalah salah satu contoh bahwa satu per satu di masa depan kita akan kehilangan spesies dari keanekaragaman hayati yang kita miliki. Kita hanya akan bisa mengenangnya dan takkan bisa mengembalikan waktu yang sudah terlewat. Padahal keanekaragaman hayati memiliki peranan penting dalam hidup manusia. Keanekaragaman hayati (kehati) merupakan penunjang kehidupan. Dari padanyalah kita mendapatkan bahan-bahan alami untuk makanan, obat-obatan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, perairan, industri, sumber daya genetika, dan sebagainya.

Tak hanya itu, kehati juga berjasa bagi lingkungan hidup. Ia menyediakan sumber daya air, mengatur tata air tanah, menjaga dan melindungi kesuburan tanah, menyerap karbon, mengurai dan menyerap polusi udara, dan masih banyak jasa yang lain lagi. Berpedoman dengan peranan kehati bagi kehidupan manusia tersebut sudah seharusnya kita berupaya untuk menjaga dan melestarikannya. Karena kehati juga berjasa dalam hal menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam.

Sayangnya,  keanekaragaman hayati terancam hilang karena banyak sebab seperti hilang/berkurangnya habitat, invasi spesies asing, polusi, populasi manusia, dan perdagangan satwa. Jika kita amati penyebab ancaman tersebut semuanya merujuk pada aktivitas kita manusia. Karena kebijakan dan pola pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, sedikitnya jenis/varietas yang dibudidayakan, pertanian/perikanan memerlukan input tinggi (pupuk, pestisida, pakan) yang menyebabkan erosi genetic/plasma nuftah, dan pudarnya kearifan lokal.

Perubahan Iklim

Isu perubahan iklim sudah lagi tak asing bagi kita. Kegiatan manusia di bidang industri, transportasi, dan ekonomi menghasilkan emisi gas-gas karbon pencemar udara yang menumpuk di atmosfer. Konsentrasi gas-gas karbon tersebut menimbulkan proses radiasi sinar matahari yang dipantulkan kembali ke bumi dan menyebabkan suhu permukaan bumi semakin panas dan terjadi pemanasan global.

Tentu kita tahu bahwa pemanasan global menimbulkan penguapan tinggi sehingga memicu terjadinya banjir karena curah hujan yang tinggi. Selain itu, penguapan yang tinggi juga menyebabkan terjadinya kekeringan yang tentu saja akan mengganggu aktivitas pertanian, ketahanan pangan, dan juga menimbulkan kebakaran hutan.

Kehati dan Perubahan Iklim

Perubahan iklim tentu saja memengaruhi kelangsungan hidup keanekaragaman hayati (kehati). Salah satunya adalah di bidang pertanian dan pangan. Setiap kenaikan suhu satu derajat Celcius suhu rata-rata maka akan terjadi penurunan 10% panen padi. Tak hanya itu, tangkapan ikan juga mengalami penurunan hingga 40% pada kawasan zona ekonomi eksklusif sebagai dampak ikan bergeser mencari iklim yang lebih sejuk, atau ikan mungkin mencoba untuk beradaptasi terhadap suhu yang hangat atau punah akibat perubahan iklim global.

Tradisi Menjaga Keanekaragaman Hayati

Nenek moyang kita sangat mencintai lingkungan. Hal ini terlihat dari adanya tradisi yang diwariskan sebagai cara untuk melestarikan lingkungan. Kepercayaan bahwa alam semesta adalah rumah dan telah memberikan kehidupan menjadi alasan bagi mereka untuk tetap menjaga kelestarian alam.

Salah satunya adalah tradisi mantari bondar yang dilakukan masyarakat Hatabosi, di Tapanuli. Tradisi ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga dan mengawasi sumber air serta Kawasan Hutan Cagar Alam Sibual-buali. Tidak hanya menjaga sumber air, masyarakat Hatabosi juga menjaga satwa-satwa yang dilindungi, seperti orangutan Sumatera yang merupakan hewan endemik di Kawasan tersebut.

Ada juga tradisi Bondang di desa Silo, Asahan, Sumatera Utara. Masyarakat di desa ini menerapkan tradisi upacara buka dan tutup bondang dalam aktivitas pertanian yang mereka lakukan. Dalam aktivitas pertanian, petani sama sekali tidak menggunakan zat-zat kimia maupun obat-obatan yang berdampak buruk bagi kesehatan dan merusak lingkungan. Kegiatan pengolahan lahan dari mulai masa tanam dan panen sepenuhnya dilakukan secara tradisional tanpa adanya bahan-bahan kimia. Dan masih banyak lagi tradisi yang ditanamkan para leluhur kita sebagai wujud kepedulian terhadap alam.

Manusia memiliki hubungan yang erat dengan alam. Akan tetapi interaksi kita dengan alam menciptakan kerusakan. Dan salah satu alternatif usaha yang bisa kita lakukan dalam pelestarian lingkungan adalah dengan menghidupkan kembali tradisi para leluhur kita. Dengan begitu kita berharap keanekaragaman hayati yang kita miliki tetaplah lestari. Perkembangan zaman janganlah membuat kita meninggalkan nilai-nilai yang telah berlaku turun-temurun. Karena itu dengan tradisi leluhur mari lestarikan alam untujk menjaga keutuhan keanekaragaman hayati kita.

Tradisi apa yang ada di daerahmu? Yuk, bagikan di kolom komentar, ya…

#Ecobloggersquad #EBS2021 #UntukmuBumiku #TeamUpForImpact

Kemasan Plastik dan Kecemasan di Masa Depan

Saat masih kecil dulu aku paling suka membongkar keranjang belanja mamak. Mengeluarkan satu per satu isinya hanya untuk menemukan makanan di sana. Biasanya ada mie goreng yang dibungkus daun pisang, seloyang martabak kacang yang dibalut dengan kertas koran, dan juga sebungkus buah jeruk atau juga terkadang buah salak. Mataku berbinar saat melihat makanan itu berada di dalam keranjang mamak dan hatiku pun riang.

Saat mengenang masa itu dan membandingkannya dengan masa sekarang aku melihat ada yang berbeda. Kalau dahulu mie goreng itu dibungkus dengan daun pisang kini dikemas dalam kemasan berbahan plastik. Begitupun dengan martabak kacang.

Posisi daun pisang, koran, dan kawan-kawannya sebagai pembungkus makanan mulai bergeser. Dan hal itu berawal dari penemuan seorang ilmuwan yang bernama Alexander Parkes. Kemudian penemuan Parkes tersebut dilanjutkan oleh Jhon Wesley Hyat pada tahun 1866. Dan pada tahun 1097 plastik sintetis ditemukan oleh Leo Hendrik Baekeland. Ilmuwan asal New York ini terus bereksperimen terhadap penemuannya. Sehingga pada tahun 1929 ditemukanlah polystyrene.

Penemuan para ilmuwan itu terus dikembangkan generasi berikutnya sehingga bisa menjadi seperti sekarang ini. Kemasan plastik diproduksi beragam dan dibentuk semenarik mungkin untuk mengemas berbagai produk salah satunya adalah makanan atau minuman.

Makanan atau minuman dalam kemasan memang sangat praktis. Sebab kita tak perlu repot-repot, kalau sudah habis dinikmati ya tinggal dibuang saja. Sesederhana itu.

Namun bagaimana dampaknya terhadap lingkungan? Ternyata tidak sesederhana itu, teman.

Di zaman modern sekarang ini berkat kecanggihan teknologi plastik yang kita gunakan itu terbuat dari hasil turunan minyak bumi dan gas yang disebut dengan Nafta. Kemudian Nafta tersebut diolah untuk menjadi resin plastik. Proses pengolahan Nafta menjadi resin plastik menghasilkan emisi karbon ke atmosfer sebesar 1.781 million metric ton CO2.

Lalu resin plastik dikirim ke tempat pengolahan, misalnya tempat pembuatan botol plastik. Untuk memproduksi botol plastik memerlukan suhu tinggi yang didapat dari pembakaran batu bara. Proses produksi ini menghasilkan emisi karbon sebesar 535 juta metric ton CO2.

Lalu botol plastik itu sampai ditangan kita dan biasanya digunakan hanya beberapa kali saja. Botol plastik tersebut berakhir di TPA. Kemudian kemasan plastik tersebut didaur ulang atau dibakar.

Akan tetapi tidak semua jenis plastik bisa di daur ulang, karena sering kali akhirnya dibakar. Padahal pembakaran plastik memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Pasalnya saat membakar plastik kita menghasilkan emisi karbon hingga 5,9 juta Metric ton CO2.

Mari sebentar kita mengintip fakta jumlah sampah yang ada di negara kita.

Faktanya di sepanjang tahun 2021 sampah di Indonesia itu mencapai 68,5 juta ton sampah dan sekitar 11, 6 juta ton diantaranya berasal dari sampah plastik. Ini artinya penggunaan plastik di negeri kita sangatlah tinggi. Padahal seperti yang dijelaskan di atas, sejak dari proses produksi hingga berakhir di tempat pembuangan akhir, sampah plastik menghasilkan banyak emisi karbon.

Kemasan berbahan plastik memang sangatlah ekonomis dan juga praktis. Di sisi lain kemasan plastik justru membawa kecemasan berkepanjangan di masa depan jika kita tidak aware dari sekarang. Sebab semakin tinggi emisi karbon yang dihasilkan maka semakin tinggi pula konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Ini tentu berdampak negatif bagi kelangsungan bumi dan penghuninya. Akan muncul masalah-masalah yang membuat kita dilingkupi kecemasan, seperti bencana alam, cuaca ekstrem, masalah kebutuhan pangan yang berujung pada kelaparan, dan rusaknya ekosistem laut.

Mulai dari sekarang marilah kita bersama-sama melakukan upaya untuk menjaga bumi yang kita huni ini. Tidak perlu menunggu untuk melakukan hal yang besar. Kita mulai dari hal yang kecil dan sederhana.

Apa yang bisa kita lakukan?

Ruangberbagikisah

1. Ganti kantong plastik belanjamu dengan Tote bag atau keranjang belanjaan yang bisa digunakan berulang serta ramah lingkungan.

2. Mulailah membawa tempat makan dan botol minum sendiri ketika jajan, saat ke sekolah, kuliah, bekerja, maupun berpergian.

3. Batasi pemakaian produk yang dikemas dalam kemasan plastik. Terdengar mudah namun ini hal yang cukup sulit karena hampir semua produk dikemas dengan plastik. Jika di daerahmu sudah ada layanan isi ulang untuk deterjen atau sampo misalnya, itu bisa menjadi salah satu trik mengurangi sampah plastik.

4. Bergabunglah untuk berkampanye melakukan hal sederhana untuk menjaga bumi.

Senin lalu aku ikut kampanye di websitenya team up for impact. Aku juga mengajak siswaku untuk ikutan. Kami memilih kampanye untuk tidak membeli minuman dalam kemasan dan memilih untuk membawa tumbler ke sekolah. Selain lebih sehat kami juga berupaya untuk mengurangi sampah plastik di lingkungan sekolah. Sederhana, bukan?

Aku mengajak kalian agar ikutan. Sebab kita butuh aksi agar bumi ini tetap lestari. Ada tujuh pilihan aksi kecil yang bisa kamu lakukan sebagai upaya menjaga bumi ini. Klik link ini ya untuk ikutan https://teamupforimpact.org/team-up-everyday karena masalah ini akan segera teratasi jika kita melakukannya serentak. Bumi memberikan banyak hal saatnya giliran kita.

Semoga artikel ini bermanfaat 😊 #EcoBloggerSquad #EBS2021

Referensi: https://zerowaste.id/knowledge/bagaimana-plastik-berpengaruh-pada-perubahan-iklim/

BBN : Secercah Harapan Untuk Bumi

Dokumen Pribadi

Saat masih kecil dulu, ibuku memasak di tataring menggunakan kayu bakar. Dan sudah menjadi tugas bapak untuk memastikan ketersediaan kayu bakar di rumah agar waktu memasak ibu tidak terkendala.

Lalu zaman berubah dan muncullah kompor minyak. Kehadiran kompor minyak menggeser posisi kayu bakar saat itu. Ibu pun tak lagi memasak di tataring. Berkat kompor minyak, ibu kini memasak di dapur.

Lalu minyak tanah yang digunakan untuk menyalakan kompor langka. Sulitnya mendapatkan minyak tanah membuat ibu-ibu sempat berbalik menggunakan kayu bakar. Saya masih ingat dulu harus mengantri berjam-jam lamanya untuk mendapatkan minyak tanah.

Ketenaran kompor minyak pun berlalu. Muncul yang namanya kompor gas. Awal-awal diperkenalkan dengan kompor ini, banyak ibu-ibu yang enggan menggunakannya karena mereka khawatir kompornya meledak. Termasuk ibu saya. Karena memang pada saat itu ada banyak berita yang mengabarkan tentang peristiwa kebakaran karena tabung gas yang meledak. Sampai akhirnya karena mendengar bahwa memasak dengan kompor gas lebih mudah maka sampai saat ini kita memasak menggunakan kompor gas.

Perubahan yang sama juga dengan bahan bakar yang lainnya. Termasuk bahan bakar untuk kendaraan. Sebelum mobilitas kita semudah seperti sekarang ini, dahulu kita bepergian dengan berjalan kaki atau sudah paling mantap dengan bersepeda. Tapi zaman yang berubah membantu kita bergerak dengan lebih cepat dan luas. Dengan hadirnya alat-alat transportasi, seperti sepeda motor, mobil, bus, kereta api, kapal laut, pesawat, dan yang lainnya.

Kemudahan yang kita dapat ternyata semakin lama membawa dampak buruk bagi kelestarian lingkungan alam kita. Semisal contoh kecilnya saja, kalau dahulu mobilitas kita hanya didukung dengan sepeda (yang tanpa bahan bakar) udara terasa sangat sejuk. Tapi berbeda setelah kita mengenal sepeda motor (yang dengan bahan bakar) kesejukan itu berubah menjadi polutan.

Tentu kita sudah tahu bahwa proses untuk menghasilkan bahan bakar menyumbangkan emisi gas karbon. Ditambah lagi dengan polusi dari kendaraan yang kita gunakan sehari-hari. Akibatnya bumi ini semakin hari semakin panas.

Untuk mengurangi emisi karbon dan impor bahan bakar fosil, pemerintah Indonesia akhirnya membuat sebuah kebijakan biofuel atau bahan bakar nabati (BBN).

Apa itu Bahan Bakar Nabati?

BBN merupakan bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan/atau dihasilkan dari bahan-bahan organik lain yang ditataniagakan sebagai bahan bakar lain.

(Permen ESDM 25 tahun 2013)

BBN sendiri diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu :

  1. Bioetanol yang merupakan alkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti gandum, tebu, ataupun jagung.
  2. Biodiesel merupakan bahan bakar dari minyak kedelai, minyak buah jarak, juga minyak bunga matahari.
  3. Biogas merupakan bahan bakar yang berasal dari hasil fermentasi sampah tumbuhan atau kotoran hewan.

Kebijakan untuk beralih ke energi terbarukan merupakan kebijakan pemerintah yang sudah mulai berjalan walau pergerakannya masih terbilang lambat. Dan sumber energi alternatif terbarukan di Indonesia sendiri terbuat dari minyak kelapa sawit. Hal ini mengundang tanya ‘Apakah BBN ini Untuk Keamanan Energi atau Komitmen Iklim?’

Jika BBN di Indonesia kebanyakan terbuat dari bahan minyak sawit mentah maka akan dikhawatirkan banyaknya lahan baru dibuka untuk memastikan ketersediaan bahan bakunya.

Untuk memenuhi target 5% kontribusi BBN terhadap campuran bauran energi nasional pada tahun 2025, maka terdapat potensi kebutuhan lahan seluas 5,15 juta Ha lahan.

(Rahmadi, Arie, Aye.Lu, Moore Graham, 2013)

Bahkan Koaksi mengungkapkan akan dibutuhkan lahan sawit baru seluas 3,78 juta Ha untuk melakukan skenario B100 pada tahun 2025.

Jika demikian maka kebijakan BBN alih-alih menekan gas emisi rumah kaca malah sebaliknya akan semakin memperburuk keadaan. Sebab faktanya sektor FOLU (Forestry and Other Land Use) merupakan penyumbang emisi terbesar di Indonesia dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah faktor utamanya.

Adakah titik terang yang bisa didapatkan?

Untuk mengantisipasi adanya alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit lagi maka setidaknya ada 2 (dua) hal berikut yang bisa dilakukan.

1. Melibatkan Pekebun Sawit Mandiri

Jika pekebun sawit mandiri terlibat menjadi bagian dari rantai pasok bahan baku biodiesel maka setidaknya ada 4 (empat) hal yang bisa didapatkan:

  • Lahan : Petani sawit mandiri menguasai 40% dari total luas lahan kelapa sawit di Indonesia.
  • Membantu perekonomian rakyat kecil : hal ini akan membantu perekonomian rakyat kecil dan meningkatkan kesejahteraan karena petani sawit mandiri ikut dilibatkan.
  • Menghindari deforestasi : dengan terlibatnya petani sawit mandiri maka akan mengurangi resiko deforestasi dan turut menjaga keberadaan hutan yang tersisa.
  • Mengurangi emisi GHG : karena menggunakan TBS kelapa sawit dari lahan petani sawit mandiri maka akan mengurangi emisi dari keseluruhan daur produksi biodiesel.

2. Memanfaatkan Minyak Jelantah

Di Hawai, biodiesel terbuat dari minyak goreng bekas, sedangkan kalau di Jepang minyak bekas dari restoran dikumpulkan dan dijadikan sebagai bahan baku untuk membuat biodiesel. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kita menggunakan bahan minyak sawit mentah seperti yang sudah dipaparkan di atas. Tentu saja kita bisa belajar dari negara-negara tersebut yaitu dengan memanfaatkan minyak jelantah.

Dokumen Pribadi

Di Indonesia konsumsi minyak goreng (2019) mencapai 13 juta ton atau 16,2 juta kilo liter. Berdasarkan angka ini jika diolah maka akan berpotensi menjadi biodiesel 3,24 juta kilo liter. Sementara jumlah minyak jelantah yang dikumpulkan di Indonesia (2019) hanya 3 juta kilo liter. 1,6 juta kilo liter berasal dari rumah tangga perkotaan besar (2019). Dan dari sekitar 3 juta KL minyak jelantah, hanya kurang dari 570 ribu KL yang dimanfaatkan sebagai biodiesel. Selebihnya digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan juga untuk diekspor.

Mulai saat ini, yuk kumpulkan minyak jelantah di rumah dan jadikan tambahan uang belanja atau uang jajan. Hehehe… Karena di beberapa kota sudah ada agen yang menerima minyak jelantah. Tapi pastikan bahwa kamu menjual kepada oknum yang bertanggung jawab sehingga minyak jelantah tidak disalahgunakan untuk hal yang berbahaya.

Lalu, seberapa efektif BBN ini menekan emisi GRK?

Jika dibandingkan dengan solar biasa, biodiesel kelapa sawit dapat memperbaiki emisi HC sebesar 20%, karbon monoksida (CO) 25%, dan particulate matter (PM) sebesar 43% untuk skenario B100.

Namun kebijakan BBN tidak serta merta dikatakan selaras dengan komitmen iklim hanya karena dilihat dari sisi kalau ternyata BBN menghasilkan lebih banyak atau sedikit emisi. Keselarasan BBN dengan komitmen iklim terwujud jika PT Pertamina sebagai BUMN pelaksana mandatori biodiesel berperan aktif dengan mewajibkan pemasoknya memiliki sertifikasi berkelanjutan.

Bagaimana menurutmu sobat Rubegi? Yuk kita dukung Indonesia beralih ke BBN! GRK teratasi, hutan tetap lestari.

#EcoBloggerSquad #EBS2021

Bergerak Kurangi Jejak Karbon

Sehari panas, sehari hujan. Begitulah kondisi cuaca akhir-akhir ini. Belakangan semakin tidak menentu. Sulit diprediksi.

Apa yang terjadi? Something wrong?

Masih segar diingatan sewaktu sekolah dulu saat guru IPS menjelaskan tentang pelajaran topik musim di Indonesia.

“Jadi, kalau bulan berakhiran ber ber sudah pasti musim penghujan. Jadi siapkanlah ember kalian untuk menampung air hujan. Seperti bulan September, Oktober, November, dan Desember.” Terang guruku kala itu. Sampai sekarang hal itu lekat sekali diingatanku.

Namun, masih relevankah hal itu hingga sekarang? Aku rasa tidak.

Sekarang cuaca sukar ditebak. Sehari hujan, kemudian sehari panas. Bahkan pagi hari cerah, lalu tiba-tiba turun hujan. Sungguh cuaca sekarang tidak menentu. Panasnya juga bukan main! Hujannya juga tidak tanggung-tanggung sampai menimbulkan kebanjiran di beberapa daerah belakangan ini.

Cuaca yang tidak menentu ini merupakan kode merah dari suhu bumi yang semakin panas. Kita biasa menyebutnya dengan pemanasan global.

Kita pasti sudah tidak asing dengan istilah pemanasan global. Sejak dulu istilah ini sering kita dengar dan hingga kini masih terus digaungkan. Mengapa? Karena dampaknya sudah mulai terasa dan ini merupakan kode merah bagi manusia.

Pemanasan global merupakan kondisi dimana suhu rata-rata di atmosfer semakin meningkat. Penyebab semakin meningkatnya suhu di atmosfer ternyata disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penebangan hutan, kegiatan industri, pembakaran lahan, dan ada kegiatan sehari-hari yang mungkin tanpa kita sadari bahwa selama ini kita melakukan kegiatan yang ternyata turut menyumbang emisi gas rumah kaca. Kegiatan sehari-hari yang meninggalkan jejak karbon. Apa sajakah itu? Yuk kita bahas di sini.

1. Sisa Makanan

Siapa di sini yang makanannya sering bersisa? Terus kalau lihat makanan enak langsung lupa diri dan ambil sebanyak-banyaknya tapi gak dihabiskan? Kalau orang tua Batak bilangnya pamangan mago (Maaf jika penulisannya salah). Sayakah itu? Yuk mengaku di sini😁.

Ternyata sisa makanan merupakan salah satu penyebab pemanasan global. Sisa makanan mengandung gas metana yang merupakan penyebab efek rumah kaca.

Nah, perihal sampah makanan (food waste), mengutip dari kumparan.com bahwa berdasarkan laporan food sustainable index (FSI) 2016 menyatakan bahwa Indonesia berada di urutan kedua sebagai negara yang paling banyak membuang makanan dan menjadi sampah (food waste) terbesar kedua setelah Saudi Arabia.

Jika kebiasaan membuang makanan terus berlanjut maka akan semakin banyak gas metana yang kemudian memicu suhu bumi semakin panas.

Food loss terjadi bukan hanya saat kita mengonsumsi makanan, melainkan saat prosesnya dimulai pun sudah terjadi food loss. Bahan makanan sebelum sampai ke tangan kita mengalami proses seleksi. Ada yang tidak layak konsumsi, salah potong, dan puncaknya adalah saat terhidang di hadapan kita yaitu sisa makanan di piring kita. Bahkan untuk pendistribusian bahan makanan tersebut membutuhkan bahan bakar yang juga menghasilkan emisi gas rumah kaca.

2. Penggunaan Plastik

Saat berbelanja, baik itu di pasar, di swalayan, supermarket, minimarket, pasti kita menggunakan plastik. Ya, hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Dan pasti kita sudah tahu bahwa plastik merupakan salah satu emisi gas rumah kaca. Mengapa? Karena plastik terbuat dari minyak bumi. Dan dalam proses pembuatannya minyak bumi akan diubah menjadi molekul kecil yang disebut dengan monomer dengan cara dibakar.

Kemudian selesai digunakan plastik akan menjadi sampah dan berakhir di TPA. Plastik sangat sulit terurai dalam tanah sehingga dapat mencemari tanah, air, dan juga udara karena pada akhirnya berujung pada proses pembakaran dan menjadi emisi gas rumah kaca.

3. Pemakaian Listrik

Kegiatan rumah tangga sekarang menjadi lebih mudah dengan canggihnya teknologi. Namun ternyata kemudahan yang kita dapatkan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup lingkungan. Salah satu contohnya adalah penggunaan mesin pengering. Dengan selalu menggunakan mesin pengering pakaian saat mencuci maka artinya penggunaan energi listrik pun semakin besar.

4. Fashion

Yang tidak ingin ketinggalan mode pakaian terbaru? Yuk angkat tangannya ✋. Hehehe.

Salahkah kebiasaanku mengikuti mode pakaian terbaru? 🤔 Teman, jika bicara soal kemampuan membeli mungkin tidak salah. Tetapi jika bicara tentang perubahan iklim, sebaiknya kebiasaan ini harus kita ubah.

Fast fashion. Mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita, kan? Fast fashion adalah sebuah industri pakaian yang selalu mengeluarkan mode pakaian terbaru setiap minggunya. Biasanya harganya sangat murah. Namun, industri ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan lingkungan karena industri ini menghasilkan mikrofiber yaitu 50 miliar plastik per tahun. Pembuatan untuk satu kaos katun saja bisa menghabiskan 2.700 liter air yang sama dengan air minum untuk satu orang selama 2,5 tahun. Tidak sampai di situ saja, industri pakaian cepat ini juga menghasilkan emisi 1.715 juta ton karbondioksida per tahun (dikutip dari katadata.co.id). Jika produk dari fast fashion banyak diminati oleh masyarakat maka dapat kita bayangkan bagaimana industri ini menyumbang emisi gas rumah kaca ke atmosfer.

Masih ada banyak kegiatan manusia yang menyumbang emisi gas rumah kaca termasuk juga pertanian dan peternakan. Jadi bukan hanya deforestasi hutan atau pembakaran lahan, penggunaan pupuk dan juga kotoran ternak ternyata turut menyumbang emisi gas metana ke atmosfer.

Jika kegiatan tersebut tidak kita perhatikan dan tanggapi secara serius, apa dampaknya bagi kehidupan manusia selanjutnya?

Mungkin itu pertanyaan yang terbersit dalam benak kita. Oke, yuk kita bahas dampak yang akan timbul jika kita abai terhadap kode merah ini.

Pada hari Jum’at lalu, aku berdiskusi dengan EBS bersama yayasan Madani mengenai suhu bumi yang semakin panas. Ini sudah pasti merujuk pada perubahan iklim. Tetapi perubahan iklim tidak hanya berbicara tentang naiknya suhu bumi, namun juga tentang akibat yang akan timbul saat suhu bumi tersebut kian naik. Yakni berubahnya sistem iklim. Perubahan sistem iklim ini mempengaruhi alam dan tentunya kehidupan manusia.

Suhu bumi yang semakin panas akan menyebabkan mencairnya gletser dan berpengaruh terhadap naiknya permukaan laut dan akan menenggelamkan banyak pulau termasuk pulau-pulau di Indonesia. Selain itu akan terjadi banjir dan kekeringan, dan pola curah hujan yang tidak menentu yang berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas air bersih.

Berikut ini adalah fenomena – fenomena perubahan iklim yang terjadi di Indonesia yang dilansir dari ditjenppi.menlhk.go.id.

Jika para petani selalu mengalami kegagalan panen karena perubahan iklim yang ekstrim, maka akan dikhawatirkan ketahanan pangan nasional saat ini dan kedepannya. Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Yuk mulai kurangi jejak karbon dengan 4 gerakan menyalakan lampu merah :

1. Lampu Merah Menyisakan Makanan

Mulai sekarang nyalakan lampu merah dalam hal makanan. Beli seperlunya, ambil secukupnya, makan tak bersisa. Sehingga tidak ada sampah makanan dimanapun kita berada. Baik itu di rumah, maupun di restoran. Lampu merah makan bukan berarti berhenti makan, ya. Heheh

2. Lampu Merah Penggunaan Plastik

Bawa kantong sendiri saat berbelanja, bawa botol minum dan makanan saat keluar rumah. Hal sederhana ini membantu mengurangi pemakaian kantong plastik, kan?

3. Lampu Merah Penggunaan Pengering Pakaian

Alih-alih menggunakan mesin pengering pakaian, yuk jemur kain dengan memanfaatkan sinar matahari. Dengan melakukan ini artinya kita sudah turut mengurangi emisi gas rumah kaca. Kalau kita semua melakukan hal ini, kebayangkan sudah berapa daya energi listrik yang tersimpan untuk esok hari?

4. Lampu Merah Membeli Pakaian

Jika untuk kelestarian lingkungan, aku yakin kalian pasti setuju untuk berhemat dalam hal ini. Fast fashion berpengaruh buruk terhadap lingkungan. Mulai sekarang ayo kita kurangi membeli pakaian baru, pilih pakaian yang bahannya katun organik, dan hindari membeli pakaian yang berbahan Polyester dan nilon. Dengan cara ini kita bisa turut ambil bagian dalam isu perubahan iklim yang semakin ekstrim.

Perlu kita sadari bersama, bahwa isu perubahan iklim ini dapat teratasi jika kita bersama. Yuk bersama menjaga bumi agar tetap sehat dan lestari. Mulai dari diri sendiri dulu dan yakinlah kebiasaan baik akan menular dan menjaring orang lain di sekitar kita.

Semangat untuk menjaga bumi muda mudi Indonesia 😊

#MudaMudiIndonesia #UntukmuBumiku #ActionTimeforIndonesia

#EcoBloggerSquad #EBS2021

Mencintai Tidak Harus Karena Memiliki

Dokpri : ruangberbagikisah

Juli 2019 saya memutuskan untuk merantau ke kota Pekanbaru, Riau. Tak berapa lama di sana, bencana kabut asap menyapa. Pekerjaan terkendala dan asap menyesakkan dada.

“Tidak usah heran, ini merupakan bencana tahunan di Riau.” Ujar salah seorang rekan kerja waktu saya mengutarakan kekhawatiran saat menyaksikan kabut asap yang semakin hari semakin menebal. Bahkan matahari pun tak lagi terlihat.

Ya, Riau merupakan salah satu provinsi titik api terjadinya karhutla. Bencana kabut asap terjadi setiap tahun di provinsi ini. Lucunya, meski terjadi tiap tahun namun ternyata tak cukup bagi pemegang kebijakan untuk mengkaji lebih jauh dan menemukan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini. Peristiwa ini terus terjadi secara berulang tanpa adanya solusi yang tepat. Luas hutan di Indonesia dari waktu ke waktu terus berkurang.

Kita pasti sepakat bahwa Indonesia merupakan negeri yang kaya. Karena itu Indonesia dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa. Berlimpah kekayaan yang diumpamakan dengan batu zamrud dan berada di garis ekuator khatulistiwa.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil (Wikipedia.org). Tingginya tingkat biodiversitas Indonesia ditunjukkan dengan adanya 10% tanaman berbunga yang terkenal di dunia terdapat juga di Indonesia, 12% dari hewan mamalia, 16% reptil, 17% burung, 18% dari jenis terumbu karang, dan 25% dari hewan laut.

Indonesia terkenal akan flora dan faunanya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu kelestarian flora dan fauna diperhadapkan dengan ancaman kepunahan. Kekayaan negeri ini berhasil membesarkan kecintaan dalam diri manusia berbalutkan keegoisan dan ketamakan.

Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 6 Agustus, saya mengikuti blogger gathering bertajuk ‘Lindungi Lahan Gambut, Lindungi Fauna Indonesia’ bersama #EcoBloggerSquad #EBS2021.

Gathering bersama EBS

Di sini aku mendapatkan pemahaman lebih dalam mengenai lahan gambut. Lahan yang dianggap sebagai lahan terbuang ini ternyata memiliki peranan penting untuk mendukung kelangsungan hidup di Bumi, termasuk kelangsungan hidup flora dan fauna yang habitatnya di lahan gambut. Mari kita lebih dekat dengan lahan gambut.

Apa itu Lahan Gambut?

Pantaugambut.id

Gambut merupakan lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa – sisa pohon, rerumputan dan lumut, juga jasad hewan yang membusuk. Timbunan ini menumpuk hingga ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal.

Umumnya gambut ditemukan di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir. Ciri gambut yang ideal adalah basah dan mengandung banyak karbon di bawahnya. Lahan gambut mengandung dua kali lebih banyak karbon dari hutan mineral yang ada di seluruh dunia. Itulah mengapa jika lahan gambut terganggu maka karbon yang terkandung didalamnya akan terlepas dan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.

Ciri – ciri Lahan Gambut

Tanah gambut dengan tanah mineral memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik ini ditinjau dari sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Oleh karenanya, pengelolaan tanaman di atas tanah gambut berbeda dengan tanah mineral.

Ada empat jenis gambut berdasarkan tingkat kedalaman :

  • 50 – 100 cm merupakan gambut dangkal
  • 100 – 200 cm merupakan gambut sedang
  • 200 – 300 cm merupakan gambut dalam
  • +300 cm merupakan gambut sangat dalam

Tingkat kedalaman ini menentukan jumlah kandungan karbon dan jenis tanaman yang dapat hidup di ekosistem tersebut. Dan artinya, semakin dalam gambut, semakin banyak karbon yang terkandung.

Dan ternyata teman-teman, luas lahan gambut di Indonesia merupakan yang terbesar keempat di dunia dengan luas 15 sampai 20 juta hektare, dan merupakan lahan gambut tropis terluas kedua dunia setelah Brazil.

Wow 😍

pantaugambut.id

Dan dari 258.650 spesies pohon tinggi yang tercatat di dunia, 13% – 15% terdapat di lahan gambut Indonesia, yaitu 35 – 40 ribu spesies pohon tinggi. Lahan gambut Indonesia mampu menyimpan setidaknya 53 – 60 miliar ton karbon sehingga lahan gambut Indonesia bernilai penting bagi dunia. Surga lahan gambut Indonesia hanya mampu ditandingi oleh hutan hujan Amazon yang menyimpan 86 miliar ton karbon.

Akan tetapi, luas lahan gambut di Indonesia belum dapat dipastikan. Pada tahun 1992, Pusat Penelitian Tanah Bogor menemukan bahwa terdapat sekitar 15,4 juta hektare lahan gambut di Indonesia. Sementara pada tahun 2005, Wetlands International memperkirakan terdapat sekitar 20,6 juta hektare. Lalu pada tahun 2011, Balai Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian dan Balai Penelitian Tanah memperkirakan ada sekitar 14,9 juta hektare lahan gambut di Indonesia. Dari data ini maka diperkirakan luas lahan gambut di Indonesia sekitar 15 hingga 20 juta hektare. Akan tetapi teman-teman, faktanya lahan gambut kita saat ini tengah terancam.

Tahun 2019, luas lahan gambut Indonesia sebesar 13,43 juta hektare. Turun 1,5 juta hektare dibandingkan luas pada tahun 2011 yaitu 14,93 juta hektare. Apa yang terjadi?

Di dalam pemikiran masyarakat, lahan gambut seringkali dianggap sebagai lahan terbuang yang dapat dikeringkan dan dialihfungsikan. Anggapan inilah yang menjadi salah satu penyebab utama degradasi dan alih fungsi lahan gambut. Apalagi semakin hari lahan mineral semakin terbatas ketersediaannya. Akhirnya demi kepentingan pertanian, perkebunan, lahan gambut dikeringkan secara berulang dan terus menerus untuk mencegah air kembali membanjiri gambut. Siklus surutnya dan pengeringan gambut yang dilakukan secara terus menerus menjadi sumber emisi karbon yang tidak akan berhenti. Padahal lahan gambut memiliki peranan penting dalam menjaga Bumi.

Peran Penting Lahan Gambut

1. Mengurangi dampak bencana banjir dan kemarau

Lahan gambut diumpamakan seperti spons yang mampu menyerap air lebih banyak saat banjir melanda. Gambut mampu menampung air sebesar 450 hingga 850 persen dari bobot keringnya. Lahan gambut juga mampu menahan air dua hingga enam kali lipat berat keringnya. Dan pada saat kemarau tiba, lahan gambut berfungsi sebagai penyedia persediaan air di dalam tanah.

2. Menunjang perekonomian masyarakat lokal

Ada berbagai jenis tanaman dan hewan yang habitatnya di lahan gambut. Tanaman dan hewan ini dapat menjadi sumber pangan dan mendukung perekonomian masyarakat di sekitar lahan gambut.

3. Merupakan Habitat Untuk Perlindungan Keanekaragaman Hayati

Indonesia terkenal kaya akan flora dan fauna. Dan salah satu habitat flora dan fauna adalah lahan gambut. Di dalam lahan gambut Indonesia terdapat 35 spesies mamalia, 150 spesies burung dan 34 spesies ikan. Beberapa fauna didalamnya merupakan spesies endemik dan dilindungi International Union for Conservation of Nature ( IUNC) yang masuk ke dalam Red List IUNC, seperti buaya senyulang, langur, orang Utan, harimau Sumatera, berubah madu, dan macam dahan.

Mengapa ini bisa terjadi?

Teman-teman, negara kita berada di urutan kedua tercepat dalam laju kepunahan dunia setelah Meksiko. Indonesia juga merupakan negara tertinggi keempat dunia dalam hal penyelundupan satwa liar setelah human trafficking, weapon trafficking, dan drugs trafficking.

Selain itu, ancaman kepunahan satwa di lahan gambut adalah karena alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman, dan juga sebagai tempat wisata.

Lahan gambut sengaja dikeringkan untuk dijadikan perkebunan (pantaugambut.id)

Akibatnya satwa kehilangan habitatnya dan biasanya alih fungsi lahan gambut itu dilakukan dengan cara dibakar. Hal tersebut menyebabkan beberapa hewan terjebak dan tewas terbakar karena tidak sempat menyelamatkan diri. Satwa yang berhasil selamat akhirnya mencari habitat baru yaitu permukiman manusia dan berujung konflik dengan manusia.

4. Lahan Gambut Menjaga Perubahan Iklim

Gambut menyimpan cadangan karbon yang besar. Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa lahan gambut mengandung dua kali lebih banyak karbon dari hutan yang ada di seluruh dunia. Itulah sebabnya, ketika lahan gambut terganggu, dikeringkan atau mengalami alih fungsi, simpanan karbon di dalam gambut tersebut akan terlepas ke udara dan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Hal inilah yang akan mempercepat peningkatan suhu Bumi yang berakibat pada perubahan iklim.

Teman-teman, perubahan iklim, alih fungsi hutan, hilangnya habitat juga akan berdampak pada penurunan spesies satwa endemik negeri kita. Kita semua tentu tidak bersedia jika suatu hari di masa depan generasi kita hanya bisa mengenang kekayaan hayati negeri ini lewat foto dan video saja.

Berkunjung ke Siantar Zoo

Foto di atas adalah kenangan tahun 2018 saat saya mengunjungi kebun binatang Siantar Zoo di kota Pematangsiantar. Bukankah sangat menyedihkan jika suatu hari di masa depan generasi kita mengenal jerapah hanya lewat patung buatan tangan manusia?

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Yaitu dengan cara melindungi yang masih tersisa dan memulihkan yang rusak dengan cara merestorasi lahan gambut.

Lahan gambut merupakan masa depan kita bersama walau bukan milik kita pribadi secara utuh. Meski demikian, menjaganya adalah tugas kita bersama. Jika lahan gambut terganggu maka berbagai bencana akan mengikutinya, seperti :

  1. Banjir
  2. Kebakaran
  3. Kabut asap
  4. Pencemaran tanah
  5. Terganggunya aktivitas
  6. Mempercepat laju perubahan iklim
  7. Hilangnya keanekaragaman hayati

Dan ujungnya kita manusia-lah yang akan dirugikan.

Bukankah mencintai tak selalu harus karena memiliki?

Kita memang tak memiliki lahan gambut secara pribadi namun kita tetap bisa mencintainya agar terus lestari. Dengan itu artinya kita telah turut berkontribusi menyelamatkan Bumi.

Cara manusia menunjukkan rasa cinta terhadap sesuatu tentu saja beragam. Ada yang menunjukkan dengan cara perhatian, peduli, melindungi, keinginan untuk memiliki, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana cara kita mencintai lahan gambut meski tidak memiliki?

  1. Sebarkan terus awareness tentang pentingnya lahan gambut
  2. Konsisten menyuarakan isu perlindungan lahan gambut
  3. Mendorong komitmen Pemerintah agar serius dalam pengelolaan dan perlindungan lahan gambut.

Butuh waktu ribuan tahun untuk membentuk gambut, namun hanya sesaat untuk merusaknya.

#Peatlandisnotwasteland

Cinta tak selamanya harus memiliki dan mencintai tidak harus selalu karena memiliki. Rasa cinta akan terus mengalir dengan sepenuh hati karena rasa peduli akan masa depan generasi setelah ini. Mungkin cara kita mencintai adalah dengan melindungi. Yuk, bersama lindungi lahan gambut. Lahan gambut terlindungi maka fauna didalamnya akan lestari.

#UntukmuBumiku #IndonesiaBikinBangga

Untuk Apapun dalam Hidup, Tuhan Tak Pernah Gagal

Mazmur 119:116
"Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu, supaya aku hidup, dan janganlah membuat aku malu dalam pengharapanku"

“Duh, sayang kali kau keluar dari sana”

“Kenapalah kau tinggalkan pekerjaanmu itu, udah enak pun kau di sana.”

Masih banyak ucapan, pandangan, dan pendapat lain yang kuterima saat aku memutuskan resign dari pekerjaanku tahun 2019 lalu. Jujur saja di tempat itu aku banyak mendapatkan hal baru, pengajaran, dan pengalaman yang sangat membantuku dalam mengembangkan kemampuan dan bakat dalam diriku. Dan aku bersyukur untuk semua itu. Bersyukur Tuhan tempatkan aku di sana dan bertemu serta menerima banyak kebaikan di tempat itu.

Sebelum memutuskan resign berulang kali aku bertanya. Bertanya pada Tuhan tepatkah keputusan ini. Sepanjang 2018 aku bergumul hingga akhirnya bulatlah keputusan itu di Juni 2019.

“Sudah dapat kerjaan baru, ya?”

Pertanyaan pertama yang kuterima saat resign ku ajukan. Dan saat itu aku katakan belum. Karena memang aku belum punya pijakan meski saat itu aku sudah tahu kemana akan melangkah.

Aku juga mendengar bisik-bisik keraguan dari orang-orang sekitar. Kata-kata yang tidak enak didengar. Sebuah keraguan dari mereka tentang langkahku selanjutnya. Sempat merasa sakit hati dengan omongan mereka, tetapi setelah aku pikir-pikir rasanya tidak ada alasan bagiku untuk merasa sakit hati. Sebaliknya harusnya aku bersyukur karena orang-orang itu tanpa sadar memercikan api semangat dalam diriku. Aku patut bersyukur karena masih ada orang yang begitu peduli dengan masa depanku. Dan keraguan mereka menjadi pijakan untuk aku melangkah ke depan.

Dan apa yang terjadi?

Aku berjanji pada diriku tidak akan pernah membiarkan keraguan mereka menjadi kenyataan. Dan dalam perjuangan aku bersikeras tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Aku percaya pada janji-Nya. Aku percaya kalau aku meletakkan pengharapan di tempat yang tepat. Tempat yang tidak akan pernah mengecewakan, tempat yang sangat sempurna untuk menuliskan harapan. Dan Ia tidak ingkar.

Di tempat yang baru, di kota yang baru, aku dipertemukan dengan kebaikan yang baru. Tuhan tidak berdusta. Dia tidak lalai menepati janjiNya dalam hidupku. Dia tidak membuatku malu dalam pengharapanku. Aku dianugerahi banyak kebaikan. Dan Ia (Allah) menopangku dalam keputusan yang aku ambil.

Apa yang ingin aku sampaikan lewat ini pada kalian yang menyempatkan membaca tulisanku ini.

1. Selalu Ada yang Terbaik

Tak bisa dipungkiri kalau dalam hidup ada masa dimana kita harus melepas. Melepaskan hal yang selama ini membuat kita nyaman. Entah untuk alasan apapun itu. Namun percayalah bahwa saat kita diminta untuk melepaskan yang kita miliki saat ini selalu ada yang terbaik menghampiri setelahnya.

2. Allah Menopang

Hal yang selalu kuyakini dalam hidup adalah apapun yang kualami entah itu buruk atau baik, aku meyakini kalau semuanya itu menghantarkanku pada rancangan Allah yang dituliskannya untukku. Jika gagal menghampiri aku meyakini kalau itu adalah cara Allah menopangku. Jika kehilangan yang kualami, aku belajar meyakini kalau itu adalah jalannya Allah memimpinku untuk mengerti dan melihat jalanNya. Tiap waktu, tiap keadaan, Allah menopang.

3. Tak Dipermalukan

“Setelah ini bagaimana hidupku?” Aku masih punya pertanyaan ini dalam hatiku setelah resign kala itu. Apakah aku masih dilanda rasa takut dan khawatir? Tentu saja, iya. Aku hanya bisa menerka dan menebak-nebak sambil terus menumpuk banyak harapan dalam doa. Hingga akhirnya rasa takut dan khawatir itu sirna saat aku menemukan nats di atas, Mazmur 119:116. Aku percaya Allah tidak akan mempermalukan, Allah akan menepati janjiNya dalam hidupku. Ayat itu sungguh sangat menolongku tetap berpengharapan hingga aku mendapatkan apa yang kucari, hingga Allah menjawab doaku. Aku mendapatkan pekerjaan baru dan menikmati berlimpah kebaikan yang menyusul.

Mungkin saat ini keraguan melanda hatimu. Atau barangkali engkau sedang bergumul dalam hidup. Tentang apapun itu, percayalah bahwa Allah memakai segala keadaan untuk menolongmu, termasuk dalam keadaan buruk, rasa sakit, khawatir, kehilangan, doa yang tak kunjung dijawab, atau bahkan kegagalan dalam hidup. Imani bahwa Allah tak pernah gagal. Semoga Mazmur 119:116 menguatkan kamu yang saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Nyalakan pengharapan dalam Tuhan karena Ia (Allah) yang tak pernah gagal.

God bless 😊