Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia menjadi bencana tahunan yang sejujurnya membuat gerah karenanya masih harus terus diperhatikan. Pasalnya jika karhutla terus terjadi setiap tahun maka dapat dipastikan generasi mendatang tidak akan mengenal yang namanya hutan dan dalam waktu mendatang kita akan hidup dalam berbagai masalah yang lahir akibat karhutla itu sendiri. Seperti tanah longsor dan banjir bandang misalnya. Saat menuju ke Samosir beberapa waktu lalu, perjalanan saya dan suami sedikit terganggu karena dibeberapa titik ada perbaikan jalan karena longsor.
Selain itu masih segar diingatan saya bagaimana tebalnya asap yang menyelimuti langit Pekanbaru, Riau, tahun 2019 lalu. Waktu itu saya mengajar di salah satu sekolah swasta di Pekanbaru. Bukan hal yang baru. Bencana Asap di provinsi ini terjadi hampir di setiap tahun. Asap itu muncul akibat karhutla dan melumpuhkan aktivitas masyarakat termasuk kegiatan belajar mengajar kala itu. Sekolah terpaksa diliburkan karena kondisi udara yang tidak sehat. Memakai masker juga tidak begitu membantu malah semakin menambah sesak. Dan karena terjadi setiap tahun maka sekolah telah memiliki strategi untuk menghadapi bencana asap akibat karhutla ini. Sebuah agenda yang berisikan rencana pembelajaran agar siswa tidak ketinggalan banyak dalam pembelajaran karena perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab. Satu hal tercetus dari dalam diri saya : “Jika sekolah mampu menyusun strategi untuk menghadapi bencana asap (belajar dari masa lalu karena terjadi tiap tahun), bukankah seharusnya ada strategi agar karhutla dapat ditangani sehingga tidak terulang kembali?
Data Berbicara
Nyatanya, meski terjadi setiap tahun tak lantas membuat karhutla dapat teratasi dengan maksimal. Bahkan ada kebakaran yang terjadi secara berulang di titik yang sama dan ada beberapa kebakaran ditemukan terjadi di titik yang baru pula. Kita dapat melihat datanya dalam gambar berikut.
Bahkan data yang memberikan informasi mengenai titik-titik api di beberapa daerah juga tidak mampu menolong untuk menyusun strategi demi mencegah agar karhutla tidak terjadi lagi. Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Papua, Kalimantan Selatan, NTT, Riau, menjadi provinsi api dengan luas kebakaran kumulatif tertinggi dari tahun 2015-2020 disusul dengan provinsi lainnya. Ini artinya setiap tahun di provinsi ini terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan entah itu kebakaran berulang atau kebakaran baru.
Upaya pencegahan karhutla ini masih tergolong gagal karena masih saja terjadi hingga sekarang. Padahal sudah ada pemberlakuan tindakan hukum untuk setiap pelaku karhutla. Namun nyatanya di lapangan, kebakaran masih terus terjadi. Hal ini nyata terlihat karena setiap tahun kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi. Setiap tahun kita kehilangan hutan dan setiap tahun karena karhutla kita menyumbangkan emisi gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.
Apa yang Menyebabkan Karhutla Terjadi?
Ahhh, saya merasa pertanyaan di atas terlalu klise ya… 😁 Tapi tak mengapa, mungkin kita perlu berpura-pura dalam hal ini tapi mudah-mudahan tidak dalam perahu (yang sama).
Ada dua faktor yang menjadi penyebabnya, alam dan manusia. Karhutla yang disebabkan oleh alam misalnya karena petir, aktivitas vulkanis, dan ground fire. Sedangkan yang disebabkan oleh manusia yaitu, praktek pembukaan lahan dengan cara membakar, perburuan, penggembalaan, konflik lahan, dan aktivitas lain seperti membuang puntung rokok sembarangan, tidak mematikan api unggun setelah berkemah, dan kelalaian lainnya. Kelalaian terlihat sepele namun sangat besar dampaknya.
Jika karhutla terjadi karena faktor alam mungkin kita tidak terlalu ‘gerah’ karena kita tidak punya cukup besar kuasa untuk mengendalikan alam. Namun jika karhutla terjadi karena ulah manusia maka ini ‘gerah’ kita bersama. Kita punya cukup besar kuasa untuk ‘menyejukkannya’.
Dampak Karhutla
Karhutla membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan makhluk hidup di Bumi. Lagi-lagi dampak ini membuat ‘gerah’ baik di masa kini maupun di masa depan.
1. Biodiversitas
Kebakaran hutan dan lahan merenggut habitat dan memusnahkan populasi tumbuhan dan satwa liar. Dari dalam hutan kita bisa menikmati beragam hasil hutan yang dapat mendukung kelangsungan hidup. Namun Karhutla merenggut semuanya itu. Bahkan satwa harus kehilangan habitatnya dan masuk ke permukiman manusia, membawa virus dan menularkannya kepada manusia.
2. Kesehatan, Pendidikan, Transportasi
Terang saja karhutla sangat mempengaruhi kesehatan. Bagaimana tidak, asap yang muncul akibat kebakaran itu menelan habis udara segar yang ada sehingga menyebabkan manusia kesulitan bernapas dan mengalami ISPA. Sekolah juga terpaksa diliburkan karena bencana kabut asap. Pengalaman belajar siswa bersama guru dan teman-temannya direnggut oleh kabut asap. Sama halnya dengan transportasi. Kabut asap yang tebal mengganggu penglihatan. Karenanya transportasi pun turut terganggu bahkan tak jarang kecelakaan lalu lintas terjadi akibat kabut asap ini.
3. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Apakah akhir-akhir ini suhu Bumi terasa sangat panas walau sudah malam? Jika jawabannya ‘ya’ berarti saya tidak sendirian. Saya merasa sangat gerah belakangan ini, tak peduli itu siang atau malam. Bahkan beberapa hari lalu saya dan suami melakukan perjalanan ke luar kota dan kami sepakat kalau suhu di kota itu dan tempat kami tinggal sama panasnya. Hanya saja sesekali kami bisa merasakan segarnya udara dari pepohonan yang ada disekitar.
Mungkinkah ini pertanda dari pemanasan global dan perubahan iklim? Ya, itu mungkin. Karena karhutla melepaskan emisi gas rumah kaca yang sangat tinggi. Jika hal ini terus terjadi maka es di kutub akan mencair dan kemungkinan terjadi banjir besar tidak akan terelakkan lagi. Tidak hanya itu saja, perubahan iklim yang ekstrim akan menciptakan bencana lainnya yang mengancam keselamatan umat manusia, seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, dan yang lainnya.
4. Kerugian Materi
Negara juga mengalami kerugian besar akibat karhutla ini. Sepanjang 2019 kerugian Indonesia akibat kebakaran hutan dan lahan mencapai sekitar Rp.72,95 triliun (data diambil dari Auriga Nusantara)
Apa yang Harus Aku Lakukan?
Adakah peran yang bisa kita ambil untuk turut berkontribusi terhadap pencegahan karhutla ini? Tentu saja ada, dan harus. Kita harus segera bertindak untuk menyejukkan ‘gerah’ ini bersama.
Beberapa waktu lalu, tepatnya hari Jumat (04 Juni). Kami para #EcoBloggerSquad #EBS2021 mengikuti blogger gathering dengan tema “cegah karhutla, cegah pandemi”. Dalam gathering ini kami berdiskusi dengan narasumber kece yaitu kak Dedy P Sukmara dari Auriga Nusantara dan kak dr. Alvi Muldani dari Yayasan Alam Sehat Lestari.
Saya mengikuti acara gathering ini saat sedang di luar kota bersama suami. Sehari setelah acara gathering ini kami mendaki bukit. Cuaca sangat cerah (dan sangat panas) 😅 tapi kami tetap semangat mendaki (entah demi apa😂) setelah naik baru saya paham alasan semangat mendaki saya selain karena penasaran, saya sangat terpesona dengan keindahan alam yang ada. Bahkan di perjalanan dari hotel menuju bukit kami melewati hutan dengan satwa liar yang masih banyak di dalamnya. Juga masih banyak pepohonan yang tumbuh dan berdiri dengan gagahnya. Relakah saya jika suatu hari nanti tidak bisa melihat pohon gagah itu lagi? Tentu saja tidak!
Baiklah kita kembali ke gathering 😁Izinkan saya berbagi pengalaman gathering saya tentang tema itu bersama dua narasumber dan teman-teman ECO Blogger Squad lainnya. Lebih tepatnya sih melanjutkan, ya, karena penjelasan yang diatas itu mencakup seluruh informasi yang saya dapat dari gathering juga 😅
Pandemi yang terjadi saat ini juga tak terlepas dari adanya pengaruh yang disebabkan karhutla. Penyebabnya adalah karhutla membuat satwa liar harus kehilangan habitatnya dan pada akhirnya memaksa mereka menemukan habitat baru dan masuk ke permukiman penduduk. Kedekatan manusia dengan hewan disertai dengan perubahan lingkungan inilah yang menyebabkan penyakit zoonosis. Tentu kita sudah mendengar isu bahwa pandemi yang masih terjadi hingga sekarang ini disebabkan oleh virus yang dibawa oleh hewan. Kabarnya hewan itu adalah kelelawar.
Berdasarkan presentasi dr. Alvi saat itu, ia menyatakan bahwa pandemi disebabkan oleh organisme spesifik dan telah berada bersamaan dalam beberapa ribu tahun, namun tidak menyebabkan penyakit.
Lantas bagaimana bisa terjadi dan menyebabkan kematian? Hal ini dipengaruhi oleh faktor lainnya yaitu kontak langsung makhluk liar dengan manusia. Entah itu kontak dengan cara domestikasi, atau karena habitat hewan liar terganggu, dan perdagangan hewan liar. Lalu kemudian penyebarannya dipercepat dengan perjalanan udara, urbanisasi, dan perubahan iklim.
Lantas apa kaitannya pandemi dengan karhutla?
karhutla menyebabkan satwa liar kehilangan habitatnya sehingga mereka terpaksa keluar untuk menemukan tempat tinggal yang baru. Akhirnya mereka masuk ke permukiman penduduk. Hewan liar tersebut membawa virus dalam dirinya dan menularkannya kepada manusia lewat interaksi, dan udara. Kebakaran hutan dan lahan juga memicu terjadinya perubahan iklim karena emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Dan perubahan iklim merupakan salah satu faktor mempercepat penyebaran virus yang dibawa oleh hewan liar tersebut. Ini berarti dengan mencegah karhutla kita juga bisa mencegah pandemi.
Ayo bersama kita bergerak untuk menyejukkan ‘gerah’ akibat karhutla yang masih terus terjadi di Indonesia. Apalagi saat ini suhu Bumi yang sangat panas bisa menyebabkan munculnya titik-titik api di daerah hutan maupun lahan gambut. Jangan sampai karhutla terjadi di tengah-tengah kita masih berperang melawan covid. Tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika kabut asap akibat karhutla terjadi bersamaan dengan situasi covid seperti sekarang ini.
Apa yang bisa kita lakukan?
Untuk yang tinggal di daerah hutan dan lahan gambut bisa saling mengingatkan untuk tetap saling mengamati titik-titik api yang biasa terjadi sebelumnya dan tetap mengawasi pihak-pihak ‘nakal’ agar tidak melakukan aksinya dan jika melihatnya segera melaporkannya. Dan yang paling utama jangan pernah lalai dengan sembarang membuang puntung rokok dan selalu padamkan api unggun setelah selesai.
Untuk kita yang jauh dari hutan bisa turut berkontribusi dengan cara adopsi pohon untuk mengembalikan hutan yang gundul sehingga perlahan cara ini bisa menyejukkan ‘gerah’ dengan kembalinya fungsi hutan seutuhnya, atau dengan tidak membeli produk dari perusahaan ‘nakal’ yang bahan bakunya dari hutan namun cara mengambilnya dengan merusak hutan. Opsi kontribusi ini dicetuskan oleh kak Dedy saat gathering waktu itu. Saya setuju dengan opsi ini. Artinya dengan kita mulai bijak memilih produk dan tidak memakai produk hasil dari perusahaan ‘nakal’ yang merusak hutan kita sedang melakukan langkah kecil untuk menyejukkan ‘gerah’ yang diciptakan oleh mereka. Jika kita masih memakai produk mereka, artinya kita mendukung perbuatan ‘nakal’ mereka. Bagaimana caranya agar kita tahu itu produk dari perusahaan ‘nakal’? Ya dengan membaca label dan mencari tahu informasi tentang perusahaan tersebut dengan searching mbak google. Wah, agak ribet, nih? Iya memang, tapi dengan langkah kecil itu kita bisa berkontribusi untuk menjaga hutan dan Bumi.
Jangan bersedia lalai. Suhu Bumi akan semakin meningkat seiring terjadi karhutla. Tentu saja keadaan ini akan membawa kita pada masalah yang lebih besar. Kita harus segera mencegah agar karhutla tidak terjadi lagi dan perlahan mengambil langkah untuk mengembalikan fungsi hutan yang merupakan AC-nya Bumi. Sehingga pemanasan global dan perubahan iklim dapat dicegah dan ‘gerah’ ini kita sejukkan bersama.
Jangan lalai! Gerahmu, gerahku, kita sejukkan bersama.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat 😊. Sampai bertemu di tulisan berikutnya, ya. Oh ya, jika kalian ingin mendapat informasi tentang adopsi bibit pohon bisa langsung cek Ig-nya @alamsehatlestari , ya. Dan agar informasi tentang karhutla tetap update, kamu boleh follow akun @auriga_id.
Salam sehat.
#UntukmuBumiku